Penerapan Kode Etik Jurnalistik dalam Praktik Media Online
PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DALAM PRAKTIK MEDIA ONLINE
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Cyber Journalism
Disusun Oleh:
Nama: Renaldy Iqramullah Litiloly
NIM: 1206015114
Peminatan: Penyiaran
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia-Nya yang tiada ternilai kepada kami, shalawat serta salam semoga tercurah pada Rasulullah Muhammad SAW, keluarga dan segenap sahabat-sahabatnya, hingga akhir zaman, Amin.
Banyak hambatan yang penulis hadapi dalam penyusunan tugas ini. Namun berkat bantuan dan dukungan berbagai pihak, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikannya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya karena keterbatasan pengalaman dan kemampuan penulis. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam menyempurnakan makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan, khususnya bagi kami dan umumnya bagi para pembaca.
Jakarta, Mei 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Bagi setiap manusia komunikasi adalah suatu hal yang terpenting dalam hidup manusia tersebut. Komunikasi adalah arti secara sederhana adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan. Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (media cetak dan elektronik).
Cyber Journalism adalah aktivitas atau lingkup atau segala aspek jurnalistik yang menggunakan internet sebagai media atau alat untuk bekerja.
Internet sendiri merupakan suatu network (jaringan) yang menghubungkan setiap komputer yang ada di dunia dan membentuk suatu komunitas maya yang dikenal sebagai global village (desa global).
Media online adalah sebuah bentuk media komunikasi yang berbasis telekomunikasi dan multimedia. Media online juga sering disebut “media banci” karena fungsinya sama-sama dapat digolongkan kedalam dua media sebelumnya, yaitu cetak dan elektronik.
Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan. Wartawan selain dibatasi oleh ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus berpegang kepada kode etik jurnalistik. Tujuannya adalah agar wartawan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, yaitu mencari dan menyajikan informasi.
Dalam makalah ini, saya akan membahas tentang Penerapan Kode Etik Jurnalistik Dalam Praktik Media Online.
Rumusan Masalah
Apakah itu media online?
Apakah itu Kode Etik Jurnalistik?
Bagaimana praktik media online diterapkan dengan Kode Etik Jurnalistik?
Tujuan Masalah
Untuk mengetahui apa itu media online.
Untuk mengetahui apa itu Kode Etik Jurnalistik.
Untuk mengetahui praktik media online diterapkan dengan Kode Etik Jurnalistik.
BAB II
PEMBAHASAN
Media Online
Media Online (Online Media) adalah media komunikasi yang tersaji secara online di internet. Istilah lainnya adalah Digital Media dan Cyber Media.
Secara umum, media online adalah sebutan umum untuk sebuah bentuk media (channel, sarana, alat) komunikasi yang berbasis telekomunikasi dan multimedia (komputer dan internet). Dalam pengertian umum ini, media online antara lain portal, website (situs web, blog), radio-online, TV-online, pers online, mail-online, dan media sosial (social media).
Dalam pengertian khusus, media online adalah media komunikasi massa yang tersaji secara online di internet, seperti versi online surat kabar atau majalah dan portal berita online (situs berita).
Media online dalam pengertian kedua itu adalah media massa generasi ketiga setelah media cetak (surat kabar, majalah, tabloid) dan media elektronik (radio, televisi, film).
Media online dalam pengertian media massa ini juga merupakan produk jurnalistik online disebut juga cyber journalism dan web journalism yaitu pelaporan fakta atau peristiwa yang diproduksi dan didistribusikan melalui internet.
Isi Media Online
Isi atau konten media online terdiri:
1. Teks
2. Visual (Gambar/Foto)
3. Audio (Suara)
4. Audio-Visual (Video)
5. Links
Karakteristik Media Online
Kapasitas luas, halaman web bisa menampung naskah sangat panjang.
Pemuatan dan editing naskah bisa kapan saja dan di mana saja.
Jadwal terbit bisa kapan saja bisa, setiap saat.
Cepat, begitu di-upload langsung bisa diakses semua orang.
Menjangkau seluruh dunia yang memiliki akses internet.
Aktual, berisi info aktual karena kemudahan dan kecepatan penyajian.
Update, pembaruan informasi terus dan dapat dilakukan kapan saja.
Interaktif, dua arah, dan “egaliter” dengan adanya fasilitas kolom komentar, chat room, polling, dsb.
Terdokumentasi, informasi tersimpan di “bank data” (arsip) dan dapat ditemukan melalui “link”, “artikel terkait”, dan fasilitas “cari” (search).
Terhubung dengan sumber lain (hyperlink) yang berkaitan dengan informasi tersaji.
Melahirkan Jurnalistik Online
Kehadiran media online memunculkan “generasi baru” jurnalistik, yakni jurnalistik online (online journalism).
Per definisi, jurnalisme online merupakan proses penyampaian informasi dengan menggunakan media internet (website). Kamus bebas Wikipedia mendefinisikan jurnalisme online sebagai “pelaporan fakta yang diproduksi dan disebarkan melalui internet” (reporting of facts produced and distributed via the Internet).
Jurnalisme online adalah “jurnalisme judul” karena perilaku pembaca yang umumnya “headline reader” atau “lead reader” perilaku yang juga berlaku bagi pembaca koran. Tubuh berita biasanya diformat dalam bentuk singkat dan padat. Kelengkapan informasi tetap terjaga karena ada “berita/tulisan terkait” (linkage).
Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan. Wartawan selain dibatasi oleh ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus berpegang kepada kode etik jurnalistik. Tujuannya adalah agar wartawan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, yaitu mencari dan menyajikan informasi.
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran
Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatansetara.
Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang professional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
Menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
Menghormati hak privasi;
Tidak menyuap;
Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran
Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran
Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran
Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran
Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
“Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis
kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran
Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran
Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran
Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Praktik Media Online diterapkan dengan Kode Etik Jurnalistik
Kehadiran internet sebagai medium baru dengan segala implikasi praktisnya, memunculkan ketegangan baru di ranah etis. Setidaknya, persoalan etik jurnalistik muncul pada dua tataran. Pertama, masalah etik yang muncul ketika kerja-kerja jurnalistik masa kini bercampur dengan interaksi pembaca. Kedua, langgam baru jurnalistik online yang berkembang di Indonesia sangat khas. Gaya baru jurnalisme ini unik dan berbeda dengan model jurnalistik “lawas” yang selama ini berlaku di media cetak dan televisi. Di luar itu, isu lama mengenai persinggungan media dengan bisnis juga masih mengemuka.
Interaktivitas Komunitas
Mari kita lihat persoalan ini satu per satu. Pertama, untuk pertama kalinya dalam sejarah, berita tidak lagi merupakan produk eksklusif milik industri media. Internet yang dalam perkembangannya melahirkan media sosial membuka ruang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mewartakan apa yang mereka tahu, mereka lihat, dan mereka dengar. Internet juga membuka ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan gagasan dan opini mereka.
Di ranah media sosial, apa yang dulu dipahami sebagai berita dan dikomunikasikan satu arah oleh media kini menjadi percakapan dalam komunikasi dua arah. Kita tentu tidak akan mendiskusikan apa yang terjadi di wilayah media sosial itu. Yang jadi persoalan adalah ketika media online juga membuka ruang terjadinya percakapan itu pada halaman-halaman situs mereka.
Media online membuka ruang-ruang percakapan publik pada halaman komentar yang disediakan pada setiap berita. Seperti disebut di atas, ruang-ruang interaktif ini secara niscaya memang merupakan nature media online. Tapi, kita juga melihat bahwa ruang-ruang interaksi itu juga memiliki perspektif bisnis. Nah, entah seperti apa mekanisme yang diberlakukan redaksi pada setiap komentar pembaca yang masuk, yang pasti kita sering melihat komentar-komentar pembaca terasa binal, kasar, sarkas, dan jauh dari sopan santun.
Selain membuka ruang publik pada halaman komentar, hampir semua media online di Indonesia memiliki forum, sebuah media sosial tempat pembaca berkumpul dan berinteraksi satu sama lain. Di dalam forum, kita juga kerap menjumpai percakapan-percakapan sejenis. Malah tak sedikit kita menjumpai posting-posting bernuansa seronok di sana.
Soal komentar ini, anggota Dewan Pers Agus Sudibyo mengungkapkan, Dewan Pers kerap mendapat laporan sejumlah komentar pembaca atas berita yang bias atau kasar tanpa moderasi. “Media siber memang membuka ruang terhadap kebebasan berpendapat, tapi prinsip-prinsip ruang publik yang beradab tetap harus dipatuhi. Kebebasan berpendapat tetap memiliki batas-batasnya yaitu etika publik dan hak orang lain harus diperlakukan secara adil,” kata Agus.
Selain itu, ia mengingatkan, konten buatan pengguna yang tidak etis sebenarnya juga dapat mengancam media itu sendiri karena berpotensi digugat secara hukum oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan. Jika media tidak mengatur keadaban konten buatan pengguna media bisa terancam pidana sebagaimana yang digariskan dalam UU ITE, KHUP, atau aturan hukum lainnya.
Sejumlah pengelola media online yang hadir dalam grup diskusi terfokus yang diselenggarakan AJI Indonesia, 5 September 2012, di Hotel Morrissey, Jakarta, sepakat, bentuk-bentuk interaktivitas pembaca yang mengerucut dalam komunitas pembaca media online kini merupakan unsur hakiki dalam media online itu sendiri. Auri Jaya, Pemimpin Redaksi jpnn.com, berpendapat, komentar pembaca kini menjadi semacam “gimmicks wajib” media online yang disukai pembaca. Pembaca tidak hanya membaca berita, tapi juga mengikuti dan menikmati komentar yang mengalir di bawah berita.
“Sekarang itu ada tren pembaca membaca komentar pada berita. Pernah di tempat saya ada komentar yang dihapusi semuanya. Nah, pembacanya lalu protes. Komentar itu kini digemari, banyak yang baca karena kadang komentar pembaca itu unik,” tuturnya.
Para peserta grup diskusi terfokus juga sepakat, komunitas-komunitas yang melekat pada media online memang seyogianya dikelola secara khusus, tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mekanisme kelola diserahkan kepada media masing-masing. Tujuan pengelolaan adalah menciptakan interaktvitas yang sehat. “Online activity pembaca harus diurus, dijaga. Kontrol atas pengelolaan itu merupakan tangungjawab media,” kata Redaktur Pelaksana Komunitas Kompas.com Pepih Nugraha.
Pemimpin Redaksi Detik.com Arifin Ashydad menegaskan, media yang membangun komunitas onlinenya memiliki tanggungjawab untuk mendidik anggota komunitas itu. “Mekanisme kontrol (yang diberlakukan media online terhadap interaktivitas komunitas) menjadi sangat penting,” katanya.
Antara Cepat dan Akurat
Selanjutnya, persoalan etik kedua adalah terkait dengan langgam baru jurnalistik yang pertama kali dipelopori detik.com: cepat dan ringkas. Detik.com “mengudara” pertama kali tahun 1998 di tengah situasi politik yang tak menentu pascajatuhnya orde baru. Sapto Anggoro dalam bukunya menuturkan, pada masa itu banyak sekali informasi beredar di dunia maya tentang situasi politik terkini yang tidak jelas sumbernya. Informasi-informasi itu terutama berseliweran di sejumlah mailing list, di antaranya yang amat terkenal adalah milis “Apakabarindonesia”. Informasi-informasi itu mungkin saja benar, tapi mungkin juga salah.
Di tengah situasi politik yang tidak menentu dan terus berubah, demikian penuturan Sapto, detik.com ingin hadir memberi informasi yang jelas dan kredibel. Karena tidak perlu melewati proses mesin cetak, berita-berita detik.com bisa tayang dengan cepat hari itu juga. Halaman situs detik.com terus menampilkan detik-detik perkembangan situasi politik terkini. Menulis berita untuk detik.com, tulis Sapto, seperti orang sedang ngeblog.
“Bedanya, blog yang ditulis ini adalah berita-berita terkini, cepat, terus menerus (ditindaklanjuti), dan bisa dipertanggungjawabkan (dipercaya). Mengapa saya menyebutnya ngeblog? Ya, karena saya menulis beritanya sendiri, membacanya sendiri, dan mengedit sendiri. Waktu itu saya sama sekali tidak merasa kalau ada orang lain yang membaca tulisan saya. Lantaran itu, bahasa yang saya gunakan pun ibaratnya seenaknya sendiri, renyah, mengalir, dan kadang terlalu ngepop atau bahkan jahil,” tutur Sapto.
Tak bisa dipungkiri, gaya detik.com ala Sapto ini kemudian menjadi kiblat bagi situs-situs media online yang muncul kemudian: cepat, update, mengalir, ngepop, dan kadang jahil. Soal “cepat”ini bahkan terasa menjadi ideologi baru yang terkesan mengalahkan “nilai-nilai” yang lain. Para reporter dan editor yang bekerja pada awal 2000 saat situs online booming di Indonesia mengalami kompetisi adu cepat antar situs online. Para reporter dikejar-kejar oleh editornya di kantor untuk segera melaporkan berita. Sementara, para editor di kantor adu cepat menulis berita dan mengawasi aneka perkembangan situasi terkini melalui televisi,r adio, dan handy talkie (untuk mengawasi percakapan polisi dan tentara). Demi adu cepat ini pula, kita sering mendengar soal cerita di ruang-ruang redaksi media online yang merekayasa jam tayangnya demi menjadi media pertama yang menayangkan satu berita tertentu.
Adu cepat ini lantas membawa sebuah implikasi serius mengenai akurasi. Atas nama kecepatan, seringkali berita-berita tayang tanpa akurasi, mulai dari hal yang sederhana yaitu ejaan nama narasumber hingga yang paling serius yaitu substansi berita. Kisah Imanda di atas adalah contoh tentang akurasi menyangkut substansi berita. Beruntung, Imanda ternyata hanya sosok fiktif. Sapto mencatat, pada 24 Mei 2001 ada situs media online yang menayangkan berita “Wimar Witoelar Meninggal Dunia”. Wimar adalah mantan jurubicara almarhum mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Lelaki bertubuh tambun itu adalah sosok yang populer. Sontak saja, berita itu membuat “gempar”. Nyatanya, Wimar tidak meninggal dunia. Hari itu ia memang dibawa ke rumah sakit karena mendapat serangan stroke. Kabar soal meninggalnya Wimar kemudian diralat.
Atas nama kecepatan, media seolah tak mempedulikan hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar sebagaimana tercantum dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) butir 1, “Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi.” Atas nama kecepatan pula, pasal 3 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) seperti diabaikan. Pasal 3 menyatakan, “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.” Berita “Wimar Witoelar Meninggal Dunia” atau kisah Imanda di atas kita rasakan bukanlah berita hasil uji informasi.
Entah kapan mulainya dan siapa yang memulai, saat ini kita berada pada zaman jurnalisme baru yaitu ketika proses uji berita dalam bentuk verifikasi dan konfirmasi yang belum pasti adalah berita. Prinsip update dan mengalir adalah nilai baru yang hadir mengikuti kemunculan media-media online. Pada titik ini, di mana seharusnya media berdiri: pada kecepatan atau akurasi?
Linda Tangdiala, Pemimpin Redaksi Kabar24. com dalam grup diskusi terfokus mengakui, persoalan kecepatan dan akurasi menjadi pergumulan di medianya52. Kabar24.com adalah media online di bawah grup Bisnis Indonesia. Para pengelolanya umumnya memulai karirnya di Harian Bisnis Indonesia yang notabene memiliki kultur berbeda. Linda mengakui, dalam relasi antara Kabar24.com dan Bisnis Indonesia, ada pandangan bahwa berita-berita indepht “dimainkan” di surat kabar saja. Media online silakan bermain pada berita-berita “dangkal”. “Yang penting naikin dulu, verifikasi nanti belakangan. Indepth-nya nanti di cetak aja. Nah, pandangan-pandangan seperti ini juga menghalangi proses verifikasi terjadi,” paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, Arifin menegaskan, kecepatan adalah kekhasan media online. Kalau tidak cepat, bukan media online namanya. Menurutnya, dalam soal kecepatan, kompetitior media online sesungguhnya bukan sesama media online, tapi media sosial. “Kalau kita tidak cepat, dilahap habis kita sama media sosial,” ujarnya.
Lebih dari itu, ia menambahkan, soal kecepatan ini sejatinya juga telah menjadi hak masyarakat. Artinya, masyarakat internet dewasa ini memiliki hak untuk cepat tahu tentang suatu hal. Maka, ketika media online memberlakukan kecepatan, kata dia, sebenarnya media online tengah memenuhi hak masyarakat.
Selanjutnya, karena kecepatan telah menjadi natur media online, tambahnya, tidak terelakkan memang ada perubahan dalam proses pemberitaan. Ia tidak menampik jika proses pemberitaan online yang terus update “sepotong-sepotong” merupakan bagian dari proses verifikasi mendapatkan kebenaran. “Kebenaran itu tidak hakiki. Apa yang disebut benar saat ini bisa tidak benar beberapa saat lagi. Kita juga bisa melihat kebenaran yang berubah itu di media cetak atau televisi. Menurut saya, yang penting dalam soal ini adalah bahwa media online terus mendalami kebenaran itu. Media online harus bertanggunjawab mengikuti setiap proses informasi hingga sampai ujungnya,” terang dia.
Arifin mencontohkan apa yang dilakukan Detik.com dalam kasus Imanda. Menurutnya, ketika Detik.com memutuskan mengangkat kasus Imanda, Detik.com bertanggungjawab menuntaskannya. “Detik berhasil menemui seseorang yang dapat memastikan bahwa kisah Amanda adalah bohong. Jadi, siapa bilang kisah Amanda itu tidak ada ending-nya,” jelas dia.
Andi Lazuardi, Pemimpin Redaksi Antaranews.com mengingatkan, dibanding kecepatan, akurasi jauh lebih berpengaruh terhadap kredibilitas suatu media. Oleh karena itu, apapun bentuk mediumnya, ia berpendapat, akurasi adalah prinsip yang tak boleh diabaikan. “Menampilkan terus menerus ketidakakuratan atas nama kecepatan lambat laun pasti akan mempengaruhi medianya,” kata dia.
Direktur Institute for Criminal Justice Reform Anggara Suwahju tidak sepakat jika masalah akurasi melulu dilekatkan pada media online. Menurutnya, masalah akurasi juga kerap terjadi pada media cetak atau televisi. Jadi, tegasnya, setiap media hingga saat ini memang terus bergumul dengan persoalan akurasi.
Menelisik diskusi di atas mengenai akurasi dan kecepatan, baik jika kita melongok sebentar pandangan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam “Sembilan Elemen Jurnalisme”. Mereka menyatakan, kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran53. “Prinsip pertama jurnalisme ini yaitu pengejaran akan kebenaran yang tidak berat sebelah adalah yang paling membedakannya dari semua bentuk komunikasi lain,” tulis Kovch dan Rosenstiel.
Selanjutnya, Kovach dan Rosenstiel menuturkan, demi mengejar kebenaran itu, intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Era teknologi tinggi saat ini membawa jurnalisme menyerupai percakapan54, sangat mirip dengan jurnalisme pertama yang berlangsung di kedai minum dan kafe 400 tahun lalu. “Fungsi jurnalisme tidak berubah secara mendasar meski kita telah memasuki era digital. Teknik yang digunakan mungkin berlainan, tapi prinsip-prinsip yang menggarisbawahinya tetap sama. Yang pertama dilakukan wartawan adalah verifikasi,” sebut Kovach dan Ronsenstiel. Verifikasi adalah prasyarat mutlak bagi akurasi. Oleh karena itu, bagaimanapun cara dan bentuknya, media online tidak bisa melepaskan diri dari disiplin verifikasi.
Cover Both Side
Selain menohok soal akurasi, prinsip cepat dan mengalir juga menyinggung prinsip lawas jurnalistik yaitu soal keberimbangan berita atau cover both side. Soal keberimbangan berita ini tercantum dalam butir 3 KEWI:
“Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat.” Pasal 3 KEJ juga menegaskan hal yang sama: “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.” Dijelaskan dalam KEJ, menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Sementara, berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
Lazimnya, media cetak menayangkan berita yang di dalamnya termuat kaidah keberimbangan itu. Pada media online, prinsip keberimbangan berita tidak muncul dalam satu berita, tapi dalam prinsip update, sepotong-sepotong, atau dipecah-pecah. Jadi, berita perimbangan biasanya tidak muncul pada berita pertama, tapi pada berita kedua, ketiga, dan selanjutnya. Persolannya adalah seringkali pada berita-berita yang bersifat tendensius yang berpotensi merugikan pihak tertentu opini publik sudah terbentuk sementara pihak yang merasa disudutkan merasa tidak mendapat kesempatan mengklarifikasi isi berita. Ketika berita klarifikasi tayang pada kesempatan berikutnya, pihak yang merasa disudutkan menilai klarifikasi mereka terlambat. Atas masalah ini, media online sering dituding memuat berita yang tidak berimbang.
Agus Sudibyo mengungkapkan, sepanjang 2011 Dewan Pers menerima 64 pengaduan terkait pelanggaran kode etik yang dilakukan media online. Dari jumlah itu, 30 di antaranya adalah menyangkut berita yang tidak berimbang, kemudian menyusul berita yang tidak akurat, berprasangka SARA, tidak menyembunyikan identitas korban kejahatan susila, tidak konfirmasi dan lain-lain.
Mendidik Pembaca
Zaman memang berubah. Tiap medium media memiliki karakternya yang khas. Begitu pula, internet memiliki gaya jurnalisme yang khas. Kekhasan ini tidak hanya perlu dimafhumi oleh para pengelola media, tak kalah penting dari itu, pembaca juga perlu diedukasi mengenai medium baru itu. Daru Priyambodo, Pemimpin Redaksi Tempo.co mengingatkan, media online tidak bisa begitu saja memberlakukan berita dalam perspektif pengelola dan bersembunyi di balik karakteristik online. Media online, menurutnya, punya kewajiban juga untuk mendidik pembaca bagaimana caranya memahami gaya pemberitaan online. Terhadap persoalan akurasi dan keberimbangan berita, misalnya, media online wajib memberitahu apakah berita yang ditayangkannya sudah teruji dalam dua kaidah tersebut.
“Dalam berita bisa ditulis, misalnya di bagian akhir, berita ini sudah teruji atau belum, berita ini belum terkonfirmasi, kalau Anda mau mengikuti update-nya silakan media memberitahu caranya. Jadi kalau berita itu adalah sekadar isyu atau apa, jangan disamarkan seolah-olah berita ini dianggap benar. Dengan demikian publik bisa dengan jernih mengikuti berita dengan benar pula,” terangya.
Persoalan Lain
Dalam diskusi grup terfokus, CEO sekaligus pemimpin redaksi gressnews.com, Agustinus Edy Kristianto, mengemukan persoalan lain yang menurutnya kurang mendapat perhatian para pengelola media yaitu soal content agregator. Secara sederhana, content agregator adalah situs yang mengepul aneka informasi dari berbagai situs lain. Ia tidak memproduksi, hanya mengumpulkan. Secara teknis, praktik pengepulan ini dapat dilakukan secara otomatis melalui sistem RSS dan sejenisnya. Kalau hanya mengumpulkan barangkali tidak soal. Yang jadi soal adalah ketika situs pengepul itu kemudian mendulang bisnis dari sesuatu yang tidak diproduksinya sendiri, “Etiskah ini?” gugat Agus. “Bagi saya,” ia menambahkan, “berita itu adalah nyawa. Wartawan-wartawan saya mengejar berita di jalanan dengan risiko nyawa, lalu ada orang yang mengumpulkan berita-berita itu begitu saja dan mendapatkan keuntungan dari pertaruhan nyawa wartawan-wartawan saya.”
Situs-situ besar seperti Yahoo dan Google sudah lama mempraktikkan cara-cara ini. Yahoonews dan Googlenews adalah content agregator. Keduanya tidak memproduksi berita, tapi mengumpulkannya dari berbagai situs berita. Halaman pengepul itu lantas menghasilkan iklan bagi Yahoo dan Google. Dalam sebuah kesempatan, bos media Rupert Murdock pernah menyinggung soal ini. Menurutnya, google seharusnya membayar setiap berita yang dicomot dari sejumlah media milik bos starnews itu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Media Online (Online Media) adalah media komunikasi yang tersaji secara online di internet. Isi atau konten media online terdiri: 1) Teks, 2) Visual (Gambar/Foto), 3) Audio (Suara), 4) Audio-Visual (Video), 5) Links. Karakteristik media online, yaitu Ringkas, Cepat, Langsung, Terbarukan, dan Multi Tampilan. Kehadiran media online memunculkan “generasi baru” jurnalistik, yakni jurnalistik online (online journalism). Jurnalisme online adalah “jurnalisme judul” karena perilaku pembaca yang umumnya “headline reader” atau “lead reader” perilaku yang juga berlaku bagi pembaca koran.
Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan. Wartawan selain dibatasi oleh ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus berpegang kepada kode etik jurnalistik. Tujuannya adalah agar wartawan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, yaitu mencari dan menyajikan informasi. Kode Etik Jurnalistik terdiri dari 11 Pasal dengan penafsirannya.
Selain menohok soal akurasi, prinsip cepat dan mengalir juga menyinggung prinsip lawas jurnalistik yaitu soal keberimbangan berita atau cover both side. Soal keberimbangan berita ini tercantum dalam butir 3 KEWI: “Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat.” Pasal 3 KEJ juga menegaskan hal yang sama: “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.” Dijelaskan dalam KEJ, menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Sementara, berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. Pada media online, prinsip keberimbangan berita tidak muncul dalam satu berita, tapi dalam prinsip update, sepotong-sepotong, atau dipecah-pecah. Jadi, berita perimbangan biasanya tidak muncul pada berita pertama, tapi pada berita kedua, ketiga, dan selanjutnya. Persolannya adalah seringkali pada berita-berita yang bersifat tendensius yang berpotensi merugikan pihak tertentu opini publik sudah terbentuk sementara pihak yang merasa disudutkan merasa tidak mendapat kesempatan mengklarifikasi isi berita. Ketika berita klarifikasi tayang pada kesempatan berikutnya, pihak yang merasa disudutkan menilai klarifikasi mereka terlambat. Atas masalah ini, media online sering dituding memuat berita yang tidak berimbang.
Kritik dan Saran
Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca bisa memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dalam pembuatan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Romli, Asep Syamsul M. 2012. Jurnalistik Online: Panduan Mengelola Media Online. Bandung: Nuansa Cendikia.
Sumber Lain:
e-book MEDIA ONLINE: ANTARA PEMBACA, LABA, DAN ETIKA (PROBLEMATIKA PRAKTIK JURNALISME ONLINE DI INDONESIA) oleh J. Heru Margianto dan Asep Syaefullah (Divisi Penyiaran dan Media Baru AJI Indonesia) diterbitkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Buku Panduan mengenai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Surat Keputusan Dewan Pers No. 03/K-DP/III/2006 tanggal 24 Maret 2006 tentang Kode Etik Jurnalistik diterbitkan oleh Dewan Pers tahun 2008.